Kain dari gedebog pisang? Bagaimana pula rasanya?
Jangan-jangan kasapnya bisa bikin kulit lecet.
Jangan antipati dulu. Kain jenis ini juga mulai banyak diminati di mancanegara.
Tidak percaya?
Memang, selama ini serat yang banyak diandalkan untuk membuat kain adalah serat kapas. Padahal, banyak serat tanaman lain yang bisa dipakai.
Ambil contoh serat dari batang pisang (dalam bahasa Jawanya gedebog), eceng gondok, nanas, dan tanaman lidah mertua.
Tapi, jangan bayangkan serat batang pisang akan sama tajam dengan bentuk mentah yang tebal dan bergerigi. Konon pula kualitas serat itu tidak kalah dari kapas atau serat sintetis. Lagi pula tak ada salahnya memanfaatkan serat alam yang melimpah ruah di sekeliling kita. Siapa tahu limbah tak berguna yang teronggok di pojok kebun berubah menjadi rupiah yang melimpah. Apalagi cara pengolahannya pun tidaklah sulit.
Kemeja serat pisang
Untuk mendapatkan serat batang pisang, yang dilakukan pertama kali adalah membelah memanjang gedebog yang masih segar. Dengan sisir bambu belahan batang pisang itu dikerok untuk diambil seratnya. Setelah terkumpul cukup banyak, serat pisang digulung dan dapat langsung ditenun menjadi bahan pakaian pria maupun wanita.
Cara yang sama dilakukan untuk mengambil serat eceng gondok, nanas, maupun tanaman lain. Cara sederhana itulah yang selama ini dilakukan H. Abdulkadir Muhammad (77) yang mungkin bisa dibilang salah satu perintis perajin serat nonkapas. Semua itu terjadi di awal 1980-an, saat A. Kadir mencoba-coba mengolah, menenun kain dari serat pisang, bahkan kemudian membuatnya menjadi sepotong kemeja yang ia pakai sendiri. Teman-temannya di Pekalongan yang sempat menertawakannya, akhirnya angkat jempol melihat hasilnya tidak kalah halus dari kain benang kapas. Pengakuan serupa secara tak langsung diterima ketika hasil produksinya yang dilempar ke pasaran, khususnya di kota-kota turis seperti Denpasar, Bandung, Yogyakarta, dan beberapa kota lain, mendapat respons cukup baik.Sukses itu menggelitik peraih Upakarti Jasa Pengabdian Perorangan tahun 1985 itu untuk melakukan percobaan berikut.
Kali itu, ia berhasil membuat kain dari serat daun nanas, eceng gondok, serat bambu, dan tanaman lidah mertua (Sansperia). Sayangnya, serat tanaman lidah mertua tidak dapat diproduksi dalam jumlah cukup banyak, karena keterbatasan tanaman. Sedangkan serat bambu, meski bahannya melimpah, harganya mahal dan banyak dibutuhkan untuk bahan bangunan. Rupanya, hanya serat batang pohon pisang dan daun nanas yang punya karakter mirip serat sintetis maupun benang kapas. Lain lagi dengan serat eceng gondok yang lebih besar daripada benang serat batang pohon pisang maupun nanas. Sehingga serat eceng gondok lebih cocok untuk bahan tirai, atau bahan pakaian yang agak tebal.Krisis malah laris
Ternyata pula serat itu tak hanya bisa menjadi pakaian pria dan wanita.
Dengan daya kreativitas, serat tanaman itu bisa diolah menjadi sepatu sandal, tas, taplak meja, kotak tempat tisu, sarung bantal, dll.
Berbagai jenis produk itu dilempar ke kota-kota turis di Indonesia dan AS dengan merek Ridaka (diambil dari namanya, A. Kadir yang dibaca terbalik).
Satuan harga untuk setiap produk pun bervariasi. Pada pertengahan 1999, kain serat batang pohon pisang berlebar 90 cm harganya Rp 50.000,- per meter, kain serat eceng gondok Rp 60.000,- semeter, sedangkan kain serat nanas Rp 70.000,-. Produk lain seperti sepatu sandal dari kulit batang pisang dijual dengan harga antara Rp 7.000,- - Rp 18.500,- per pasang. Ada juga berbagai tas, mulai tas wanita yang dipatok Rp 17.500,- - 25.00 per buah, hingga tas perjalanan kulit batang pisang yang dirangkai dengan kulit sapi Rp 65.000,- sebuah.
Konsumen lokal, yang datang dari berbagai kota mulai Yogyakarta, Solo, Bandung, Jakarta, dan wilayah Jatim, biasanya langsung berkunjung ke rumah yang sekaligus jadi ruang pajang. Tapi untuk yang ke luar negeri, "Saya pernah mengirim 10.000 m kain dari eceng gondok ke salah satu toserba terbesar di AS yaitu PIER 1 tahun 1997 senilai Rp 240 juta, lewat seorang agen di Bali," ujar A. Kadir sambil menambahkan, pesanan itu kebanyakan bahan pakaian dari serat pisang, nanas, dan eceng gondok, di samping bahan busana dari katun.
Tak aneh bila badai krismon yang mampu menjungkirkan banyak pengusaha hingga bangkrut, bagi Kadir justru mendatangkan berkah, karena produknya yang dikirim ke luar negeri menggunakan standar dolar AS. Sayangnya, ia tak tahu apakah produknya juga beredar di negara-negara Eropa, karena ia tidak mempunyai agen pemasaran ke sana. Kalaupun ada, mungkin dibeli di Indonesia, lalu dibawa ke sana. Yang ia tahu, "Omzet penjualan dari serat alam maupun katun mencapai sekitar Rp 100 - 150 juta per bulan."Untuk memenuhi target pesanan, baik dari dalam dan luar negeri, menurut Dra. Hj. Thuraya, putri keenam A. Kadir yang dipercaya menangani manajemen dan pemasaran, mereka didukung 30 perajin yang jadi anak asuh di berbagai sudut Kodya Pekalongan. Selain itu, proses produksi juga dilakukan di rumah ayah 12 anak itu, yang tiap harinya mempekerjakan 50 orang dengan 30 unit alat tenun bukan mesin (ATBM).Tak pusing soal patenDari pola anak asuh, bisa dimengerti pula bila kakek 33 cucu ini mengaku tak tertarik pada hak paten. Alasannya, tak ingin membatasi orang lain berusaha seperti dirinya."Saya malah senang kalau ada yang mengikuti dan meniru," aku lulusan Ambacht School (Sekolah Teknik) tahun 1937 itu.
Tak heran kalau setiap hari selalu ada saja 1 - 2 orang dari luar kota yang datang padanya untuk belajar teknik membuat bahan pakaian dari serat batang pohon pisang dan tanaman lainnya. "Dengan senang hati saya menerima dan mengajarkannya ... secara gratis. Silakan datang kalau ingin belajar, paling-paling butuh waktu maksimum satu minggu," ujarnya.
Mungkin A. Kadir ingin ingin mengamalkan ilmu pertekstilan yang diperolehnya secara gratis pula. Kesempatan menimba ilmu secara cuma-cuma itu berkat teknik menenun handuk ber-letter, temuannya.
Awalnya, suatu sore di tahun 1955, ia melihat dua pria berkebangsaan asing menyusuri jalan di Pekalongan. Bermodalkan bahasa Inggris yang cukup baik ia pun mengajak berbincang-bincang. Ternyata dua orang itu, Joseph E. Stepanek warga USA dan John Dearing yang warga Inggris, bekerja di Foreign Operation Administration (FOA) lembaga di AS yang mengurusi pertukaran pemuda/mahasiswa.
Esoknya A. Kadir yang saat itu berusia 33 tahun datang ke hotel tempat dua teman barunya menginap sambil membawa cinderamata dua lembar handuk hasil tenunannya sendiri.
Joseph dan John kaget plus heran melihat tenun handuk bertuliskan nama mereka!
Tanpa ba-bi-bu, mereka langsung menghujani pertanyaan tentang cara pembuatannya.
Konon, saat itu di dunia belum ada yang memakai handuk bercetak nama sendiri di atasnya!Mereka berdua pun diajak ke rumah A. Kadir untuk melihat peragaan cara membuat handuk itu. Usai peragaan, Stepanek langsung bertanya, "What can I do for you?""Saya bilang sudah lama ingin melakukan studi banding pertekstilan di beberapa negara maju, tapi saya tak punya biaya. Mereka pun berjanji membantu mewujudkannya," ujar kakek yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, Arab, dan sedikit Jepang.
Dua minggu kemudian ia dipanggil ke kantor FOA yang seatap dengan kantor Perindustrian Jakarta. Ternyata Stepanek telah mengurus perjalanannya ke beberapa negara.
Di Jepang, negara pertama yang dikunjungi, ia tinggal selama satu bulan.
Lalu ke Belanda selama tiga minggu, ke Jerman Barat selama 15 hari, Prancis seminggu, dan terlama di AS, yakni enam bulan. Praktis, ia "keliling dunia" selama delapan bulan.
Selain untuk perjalanan, FAO pun membiayai kuliahnya saat ia menjadi mahasiswa tamu untuk belajar business management di Denver University, Kolorado. Waktu yang terbatas itu ia manfaatkan sebaik-baiknya, bukan hanya kuliah, ia sempat belajar teknik sablon (printing) di Perusahaan Sablon "McClean".
Semangat belajar yang memberikannya wawasan luas pantas diakui menjadi roh dari semangatnya berusaha. Tak heran, apa yang dilakukannya mulai usaha pertenunan handuk ber-letter hingga berbagai serat alam mampu menjadi salah satu daya pikat khazanah kerajinan daerah. (Kasirin intisari-2000)
Jangan-jangan kasapnya bisa bikin kulit lecet.
Jangan antipati dulu. Kain jenis ini juga mulai banyak diminati di mancanegara.
Tidak percaya?
Memang, selama ini serat yang banyak diandalkan untuk membuat kain adalah serat kapas. Padahal, banyak serat tanaman lain yang bisa dipakai.
Ambil contoh serat dari batang pisang (dalam bahasa Jawanya gedebog), eceng gondok, nanas, dan tanaman lidah mertua.
Tapi, jangan bayangkan serat batang pisang akan sama tajam dengan bentuk mentah yang tebal dan bergerigi. Konon pula kualitas serat itu tidak kalah dari kapas atau serat sintetis. Lagi pula tak ada salahnya memanfaatkan serat alam yang melimpah ruah di sekeliling kita. Siapa tahu limbah tak berguna yang teronggok di pojok kebun berubah menjadi rupiah yang melimpah. Apalagi cara pengolahannya pun tidaklah sulit.
Kemeja serat pisang
Untuk mendapatkan serat batang pisang, yang dilakukan pertama kali adalah membelah memanjang gedebog yang masih segar. Dengan sisir bambu belahan batang pisang itu dikerok untuk diambil seratnya. Setelah terkumpul cukup banyak, serat pisang digulung dan dapat langsung ditenun menjadi bahan pakaian pria maupun wanita.
Cara yang sama dilakukan untuk mengambil serat eceng gondok, nanas, maupun tanaman lain. Cara sederhana itulah yang selama ini dilakukan H. Abdulkadir Muhammad (77) yang mungkin bisa dibilang salah satu perintis perajin serat nonkapas. Semua itu terjadi di awal 1980-an, saat A. Kadir mencoba-coba mengolah, menenun kain dari serat pisang, bahkan kemudian membuatnya menjadi sepotong kemeja yang ia pakai sendiri. Teman-temannya di Pekalongan yang sempat menertawakannya, akhirnya angkat jempol melihat hasilnya tidak kalah halus dari kain benang kapas. Pengakuan serupa secara tak langsung diterima ketika hasil produksinya yang dilempar ke pasaran, khususnya di kota-kota turis seperti Denpasar, Bandung, Yogyakarta, dan beberapa kota lain, mendapat respons cukup baik.Sukses itu menggelitik peraih Upakarti Jasa Pengabdian Perorangan tahun 1985 itu untuk melakukan percobaan berikut.
Kali itu, ia berhasil membuat kain dari serat daun nanas, eceng gondok, serat bambu, dan tanaman lidah mertua (Sansperia). Sayangnya, serat tanaman lidah mertua tidak dapat diproduksi dalam jumlah cukup banyak, karena keterbatasan tanaman. Sedangkan serat bambu, meski bahannya melimpah, harganya mahal dan banyak dibutuhkan untuk bahan bangunan. Rupanya, hanya serat batang pohon pisang dan daun nanas yang punya karakter mirip serat sintetis maupun benang kapas. Lain lagi dengan serat eceng gondok yang lebih besar daripada benang serat batang pohon pisang maupun nanas. Sehingga serat eceng gondok lebih cocok untuk bahan tirai, atau bahan pakaian yang agak tebal.Krisis malah laris
Ternyata pula serat itu tak hanya bisa menjadi pakaian pria dan wanita.
Dengan daya kreativitas, serat tanaman itu bisa diolah menjadi sepatu sandal, tas, taplak meja, kotak tempat tisu, sarung bantal, dll.
Berbagai jenis produk itu dilempar ke kota-kota turis di Indonesia dan AS dengan merek Ridaka (diambil dari namanya, A. Kadir yang dibaca terbalik).
Satuan harga untuk setiap produk pun bervariasi. Pada pertengahan 1999, kain serat batang pohon pisang berlebar 90 cm harganya Rp 50.000,- per meter, kain serat eceng gondok Rp 60.000,- semeter, sedangkan kain serat nanas Rp 70.000,-. Produk lain seperti sepatu sandal dari kulit batang pisang dijual dengan harga antara Rp 7.000,- - Rp 18.500,- per pasang. Ada juga berbagai tas, mulai tas wanita yang dipatok Rp 17.500,- - 25.00 per buah, hingga tas perjalanan kulit batang pisang yang dirangkai dengan kulit sapi Rp 65.000,- sebuah.
Konsumen lokal, yang datang dari berbagai kota mulai Yogyakarta, Solo, Bandung, Jakarta, dan wilayah Jatim, biasanya langsung berkunjung ke rumah yang sekaligus jadi ruang pajang. Tapi untuk yang ke luar negeri, "Saya pernah mengirim 10.000 m kain dari eceng gondok ke salah satu toserba terbesar di AS yaitu PIER 1 tahun 1997 senilai Rp 240 juta, lewat seorang agen di Bali," ujar A. Kadir sambil menambahkan, pesanan itu kebanyakan bahan pakaian dari serat pisang, nanas, dan eceng gondok, di samping bahan busana dari katun.
Tak aneh bila badai krismon yang mampu menjungkirkan banyak pengusaha hingga bangkrut, bagi Kadir justru mendatangkan berkah, karena produknya yang dikirim ke luar negeri menggunakan standar dolar AS. Sayangnya, ia tak tahu apakah produknya juga beredar di negara-negara Eropa, karena ia tidak mempunyai agen pemasaran ke sana. Kalaupun ada, mungkin dibeli di Indonesia, lalu dibawa ke sana. Yang ia tahu, "Omzet penjualan dari serat alam maupun katun mencapai sekitar Rp 100 - 150 juta per bulan."Untuk memenuhi target pesanan, baik dari dalam dan luar negeri, menurut Dra. Hj. Thuraya, putri keenam A. Kadir yang dipercaya menangani manajemen dan pemasaran, mereka didukung 30 perajin yang jadi anak asuh di berbagai sudut Kodya Pekalongan. Selain itu, proses produksi juga dilakukan di rumah ayah 12 anak itu, yang tiap harinya mempekerjakan 50 orang dengan 30 unit alat tenun bukan mesin (ATBM).Tak pusing soal patenDari pola anak asuh, bisa dimengerti pula bila kakek 33 cucu ini mengaku tak tertarik pada hak paten. Alasannya, tak ingin membatasi orang lain berusaha seperti dirinya."Saya malah senang kalau ada yang mengikuti dan meniru," aku lulusan Ambacht School (Sekolah Teknik) tahun 1937 itu.
Tak heran kalau setiap hari selalu ada saja 1 - 2 orang dari luar kota yang datang padanya untuk belajar teknik membuat bahan pakaian dari serat batang pohon pisang dan tanaman lainnya. "Dengan senang hati saya menerima dan mengajarkannya ... secara gratis. Silakan datang kalau ingin belajar, paling-paling butuh waktu maksimum satu minggu," ujarnya.
Mungkin A. Kadir ingin ingin mengamalkan ilmu pertekstilan yang diperolehnya secara gratis pula. Kesempatan menimba ilmu secara cuma-cuma itu berkat teknik menenun handuk ber-letter, temuannya.
Awalnya, suatu sore di tahun 1955, ia melihat dua pria berkebangsaan asing menyusuri jalan di Pekalongan. Bermodalkan bahasa Inggris yang cukup baik ia pun mengajak berbincang-bincang. Ternyata dua orang itu, Joseph E. Stepanek warga USA dan John Dearing yang warga Inggris, bekerja di Foreign Operation Administration (FOA) lembaga di AS yang mengurusi pertukaran pemuda/mahasiswa.
Esoknya A. Kadir yang saat itu berusia 33 tahun datang ke hotel tempat dua teman barunya menginap sambil membawa cinderamata dua lembar handuk hasil tenunannya sendiri.
Joseph dan John kaget plus heran melihat tenun handuk bertuliskan nama mereka!
Tanpa ba-bi-bu, mereka langsung menghujani pertanyaan tentang cara pembuatannya.
Konon, saat itu di dunia belum ada yang memakai handuk bercetak nama sendiri di atasnya!Mereka berdua pun diajak ke rumah A. Kadir untuk melihat peragaan cara membuat handuk itu. Usai peragaan, Stepanek langsung bertanya, "What can I do for you?""Saya bilang sudah lama ingin melakukan studi banding pertekstilan di beberapa negara maju, tapi saya tak punya biaya. Mereka pun berjanji membantu mewujudkannya," ujar kakek yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, Arab, dan sedikit Jepang.
Dua minggu kemudian ia dipanggil ke kantor FOA yang seatap dengan kantor Perindustrian Jakarta. Ternyata Stepanek telah mengurus perjalanannya ke beberapa negara.
Di Jepang, negara pertama yang dikunjungi, ia tinggal selama satu bulan.
Lalu ke Belanda selama tiga minggu, ke Jerman Barat selama 15 hari, Prancis seminggu, dan terlama di AS, yakni enam bulan. Praktis, ia "keliling dunia" selama delapan bulan.
Selain untuk perjalanan, FAO pun membiayai kuliahnya saat ia menjadi mahasiswa tamu untuk belajar business management di Denver University, Kolorado. Waktu yang terbatas itu ia manfaatkan sebaik-baiknya, bukan hanya kuliah, ia sempat belajar teknik sablon (printing) di Perusahaan Sablon "McClean".
Semangat belajar yang memberikannya wawasan luas pantas diakui menjadi roh dari semangatnya berusaha. Tak heran, apa yang dilakukannya mulai usaha pertenunan handuk ber-letter hingga berbagai serat alam mampu menjadi salah satu daya pikat khazanah kerajinan daerah. (Kasirin intisari-2000)